Senin, 10 November 2014

ADA BLANGKON? -postingan sendiri-

ADA BLANGKON?

Saat-saat anda berlibur, sekali-kali cobalah berkunjung ke Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta anda bisa jalan-jalan ke Malioboro. Disana anda akan menjumpai berbagai macam warna kehidupan. Salah satu yang unik adalah tentang delman. Keunikannya terletak pada pengemudi delman tersebut alias kusir. 

Di Malioboro kusir delman rata-rata memakai pakaian adat Jawa. Mulai dari blangkon, pakaian adat, serta celana hitam, masih melekat erat di badan sang kusir delman. Betul-betul khas jawa atau kalau anak muda sekarang menyebut “jawa banget”. Disinilah salah satu sisi keunikan Malioboro. Bagi kita, hal tersebut bisa saja dimaklumi. Mengingat Malioboro masih dekat dengan peradaban Kraton yaitu Kraton Yogyakarta. Berbicara mengenai pakaian adat, ada hal yang sangat menarik. Terutama tentang blangkon. Bagi anda masyarakat Jawa, tentu saja blangkon tidaklah asing. Sebab blangkon merupakan bagian dari pakaian adat masyarakat Jawa.
Dalam masyarakat Jawa kuno, blangkon malah merupakan pakaian keseharian atau bahkan boleh dibilang pakaian wajib.  Apalagi kalau ada ritual seperti upacara adat dan lain sebagainya, blangkon tak pernah lepas dari kepala. Memang dari segi bentuk, blangkon tidaklah begitu menarik. Apalagi bila dibandingkan dengan topi. Blangkon hanyalah sekedar penutup kepala yang terbuat dari kain. Warnyanya pun biasa, tak banyak berfariasi. Selain itu, mode atau bentuk blangkon juga permanen seperti itu. Namun, justru karena kelihatan sederhana itulah sisi menarik blangkon.  Sebab sesederhana apapun yang namanya blangkon, ia mempunyai makna filosofi tinggi. Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan tentang dirinya. Tidak seperti topi yang paling hanya sekedar sebagai penutup kepala sekaligus hiasan. Hanya saja sangat disayangkan saat ini blangkon tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa. Ia hanyalah sekedar hiasan dan sekedar warisan leluhur. Terlebih, jarang orang yang tahu akan makna yang tersirat dalam blangkon. Sehingga mereka tak mampu mewarisi tradisi kearifan para pendahulunya.  Untungnya, kita masih bisa bersyukur karena ada komunitas delman Malioboro yang masih setia memakai blangkon. Kita berharap semoga mereka tak hanya memakai blangkon saja, tetapi mampu mengamalkan nilai-nilai filosofisnya. Dan bagi kita generasi saat ini yang kurang mengenal blangkon dan enggan memakainya, semoga kita mampu mengamalkan nilai-nilai filosofisnya. Itu semua demi kehidupan dimasa mendatang agar lebih baik.

Blangkon memiliki berbagai model, seperti halnya blangkon yang menggunakan mondholan atau tonjolan di bagian belakang, ini adalah versi Yogyakarta. Tonjolan ini mengingatkan kita bagaimana rambut panjang orang pada masa itu yang diikat di bagian kepala sehingga memunculkan tonjolan ke belakang. Sedangkan yang berikutnya adalah balangkon model trepes, blangkon model ini adalah gaya Surakarta, gaya ini merupakan model modifikasi dari blangkon Yogyakarta yang menyesuaikan zaman sekarang bahwa kebanyakan pria berambut pendek. Model trepes sendiri membuatnya dengan cara menjahit mondholan langsung ke belakang blangkon. Memang blangkon identik dengan suku Jawa, tetapi patut diketahui juga bahwa di berbagai suku bangsa ada juga tutup kepala yang hampir sama dengan blangkon hanya berbeda pakem dan gaya serta nama tentunya. Seperti halnya tutup kepala ala Sunda, Bali, Madura yang memiliki nama dan karakteristik tersendiri.
Bicara soal melancong, tidak luput dari oleh-oleh yang dibeli dari kota tujuan wisata kita. Melihat dari kebiasaan wisatawan secara berulang-ulang dari tahun ke tahun yang mengunjungi suatu daerah, akan ada saja oleh-oleh yang selalu mereka bawa pulang ke rumah tidak berubah dari waktu ke waktu karena memang ciri khas sebuah daerah tersebut. Begitu pula dengan Yogyakarta yang menyimpan banyak oleh-oleh khas Jogja yang wajib dibeli.
Jika anda berkunjung ke Malioboro, tempat belanja oleh-oleh terbesar di Joga, anda akan mudah menemukan blangkon batik.  Apalagi motif batik pada blangkonnya tidaklah sama, namun berbeda-beda. Ada banyak motif batik yang digunakan untuk melapisi blangkon. Umumnya batik cap yang digunakan, agar harga blangkon batik Jogja ini tetap terjangkau. Blangkon batik merupakan cenderamata yang sangat khas Jogja. Memang blangkon batik tidak dapat dikenakan setiap saat, namun dengan membelinya anda sudah membuktikan bahwa anda benar-benar telah berkunjung ke Yogyakarta.
Memahami budaya Jawa dari sudut pandang orang Jawa (modern) seperti saya yang juga orang Jogja tulen, masih saja kesulitan. Orang Jawa senang mbulet dan tidak To the point. Apabila ditawari sesuatu pun akan menjawab matur nuwun, mboten, sampun semuanya penolakan halus, padahal mungkin hatinya mau. Maka orang sering mengatakan orang Jawa itu ya dalam ketidakan dan tidak dalam keiyaan.

Jangan salah sangka, tidak setiap orang Jawa yang berbahasa mlipir dengan sikapnya yang halus, juga memiliki watak (sifat) asli yang demikian, bisa jadi dia seorang yang culas, pendendam atau licik. Tentunya hal ini merupakan suatu kondisi yang kontradiktif. Tutur kata dan sikap santun yang ditunjukkan kadang hanyalah untuk menutupi niat dalam hati.
Maka falsafah blangkon kemudian disematkan pada sikap orang Jawa yang seperti itu. Dari depan blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan), menggambarkan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud dan tujuan sebenarnya.
Blangkon adalah warisan dari jaman kerajaan dahulu banyak orang awam menyebutnya sebagai penutup rambut di bagian kepala dipakai oleh kaum pria juga termasuk dari pakaian tradisional. Blangkon sangatlah unik karena keberadaan blangkon tersebut semakin lama kelamaan pengguna blangkon sangat sedikit paling orang memakainya dalam acara tertentu seperti pada acara manten.
Blangkon Jogja yang berciri khas dengan mondolan dibelakang yang dirancang sedemikian rupa dengan tampilan yang menawan sehingga kaum pria akan tampak gagah berwibawa  memakainya dan dilengkapi dengan pakaian sorjan dan kain jarik sebagai celana serta selop dan keris dipunggunya.
Pakaian tradisional atau pakaian adat jawa khususnya Jogja Blangkon dengan ciri khas mondolan dibelakang   sangatlah berbeda dengan blangkon yang berasal dari daerah lain, tentunya Blangkon sangatlah banyak madel atau ciri khas tergantung dari mana blangkon tersebut berasal.
Blangkon merupakan salah satu warisan kebudayaan di daerah Solo, Jawa Tengah yang hingga saat ini masih terus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Walaupun pada kenyataannya blangkon itu bukan hanya berada di wilayah Solo, namun hal tersebut tidak memberikan pengaruh yang mendasar pada eksistensi blangkon yang berada di Solo karna Solo memiliki ciri khas tersendiri dalam motif dan bentuk blangkon  tersebut.
Adapun beberapa hal yang cukup menarik dari blangkon ini adalah karena pada umumnya hampir semua orang bisa memakainya sebab blangkon dapat menyesuaikan segala macam jenis wajah manusia kecuali kaum hawa. Bukan hanya itu, dari jenis-jenisnya blangkon juga merupakan salah satu alat pembeda antara masyarakat kelas atas, menengah, dan bawah pada zaman kerajaan dahulu. Tetapi kini budaya tersebut tidak lagi berlaku besar terhadap masyarakat, karna kini blangkon tersebut telah di perjual belikan kepada masyarakat dalam maupun luar solo. Jadi setiap masyarakat sekarang bisa memakai dan memiliki blangkon dalam jenis apapun tanpa perlu memperhatikan lagi tingkatan atau level kesetaraan sosial pada masyarakat.
Ibu Hasrini misalnya, salah seorang pengrajin blangkon yang mengaku sebagai perintis pertama dalam membangkitkan semangat warga desa proton jayan untuk terus melestarikan blangkon mengaku tetap optimis dalam menjaga kelestarian budaya blangkon didaerahnya dengan pernyataan sebagai berikut,  “Telah 20 tahun saya manjadi pengrajin blangkon, dan sayapun yakin bahwa saya akan tetap mampu mungkin menjaga serta melestarikan budaya yang telah menjadi warisan orang tua saya terdahulu”.
Menurut pengakuan ibu Hasrini , blangkon ini dapat di distributorkan keberbagai daerah misalnya Semarang, Jogja, Sumatra dan daerah lainnya. Dan lantaran blangkon banyak diminati oleh masyarakat. Adapun jika saat-saat event berlangsung, seperti masa kampanye pemilu. Maka banyak sekali para partai besar seperti PDI, PAN, dan lainnya yang meminta pesanan blangkon kepada produsen blangkon di daerah khususnya kelurahan Serengan.
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa melestarikan budaya blangkon yang memiliki peminat yang cukup banyak telah memberikan dampak yang positif kepada masyarakat, khususnya masyarakat kelurahan serengan dalam rangka mengurangi angka pengangguran di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan sebuah fenomena yang sedang terjadi pada masyarakat kita terutama pada masyarakat Jawa yang notabene adalah pemakai blangkon. Sebuah pergeseran nilai dan makna telah terjadi dan sayangnya banyak kalangan yang tidak peka terhadap masalah ini. Mereka hanya mengikuti suatu hal yang sekiranya menjadi populer dan menaikkan prestise mereka dimata masyarakat umum dan kebanggan adalah milik orang-orang yang menganggap dirinya adalah orang modern dalam dunia global. Padahal secara tidak sadar, mereka terhegemoni oleh sebuah pola pikir yang sebenarnya secara sengaja dibentuk oleh kalangan tertentu yang mempunyai kepentingan di dalamnya. Melihat hal itu, maka penulis akan membedah fenomena ini. Hal ini sangat beralasan karena sebagian besar masyarakat kita masih belum bisa terlepas dari pola pikir kolonialisme yang sudah mengakar sejak ratusan tahun lamanya.
Seiring bergantinya zaman, terutama pada era kolonialisme dan berlanjut pada era globalisasi seperti sekarang, mau tidak mau banyak budaya, adat dan segala sesuatunya masuk ketanah Jawa dan mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, dan lain-lain. Sehingga pergesekan budaya tidak bisa dihindari. Blangkon adalah satu dari sekian banyak budaya yang terkena dampaknya. Jika dulunya blankon telah menjadi simbol kebanggaan para pria Jawa, namun sekarang telah tergeser oleh produk-produk barat yang datang dan berkembang secara cepat. Hanya sedikit sekali masyarakat yang menyadari itu. Sehingga sekarang kita sudah jarang menemukannya dipakai dalam kehidupan sehari. Padahal jika dilihat dari fungsi nya antara blankon dan tpoi biasa pada umumnya tidaklah berbeda. Yang berbeda adalah cara pandang masyarakat terhadap blangkon itu sendiri.

Sekarang blangkon dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan lagi untuk dipakai dalam suasana sehari-hari. Blangkon sekarang hanya dipakai pada acara-acara tertentu seperti pada acara pernikahan maupun pada acara-acara festival yang menggunakan tema tradisional. Di sini bisa kita lihat bahwa pandangan masyarakat terhadap blangkon adalah sekedar sebagai pakaian bagi orang-orang tradisional dan hanya dipakai pada era tradisional. Parahnya lagi, orang yang memakai blangkon dianggap sebagai orang yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman dan dinilai tertinggal baik dalam aspek cita rasa berpakaian maupun perilakunya. Masyarakat sekarang lebih memilih menggunakan penutup kepala produksi dunia barat seperti topi ataupun kerpus. Produk tersebut dianggap lebih relevan dan mempunyai nilai lebih baik dari sisi bentuk maupun fungsi secara fisik maupun sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar