ADA BLANGKON?
Saat-saat anda berlibur, sekali-kali cobalah berkunjung ke
Yogyakarta. Sampai di Yogyakarta anda bisa jalan-jalan ke Malioboro. Disana
anda akan menjumpai berbagai macam warna kehidupan. Salah satu yang unik adalah
tentang delman. Keunikannya terletak pada pengemudi delman tersebut alias
kusir.
Di Malioboro kusir delman rata-rata memakai pakaian adat Jawa. Mulai
dari blangkon, pakaian adat, serta celana hitam, masih melekat erat di badan
sang kusir delman. Betul-betul khas jawa atau kalau anak muda sekarang menyebut
“jawa banget”. Disinilah salah
satu sisi keunikan Malioboro. Bagi kita, hal tersebut bisa saja dimaklumi.
Mengingat Malioboro masih dekat dengan peradaban Kraton yaitu Kraton
Yogyakarta. Berbicara mengenai pakaian adat, ada hal yang sangat menarik.
Terutama tentang blangkon. Bagi anda masyarakat Jawa, tentu saja blangkon
tidaklah asing. Sebab blangkon merupakan bagian dari pakaian adat masyarakat
Jawa.
Dalam masyarakat Jawa kuno, blangkon malah merupakan pakaian
keseharian atau bahkan boleh dibilang pakaian wajib. Apalagi kalau ada ritual seperti
upacara adat dan lain sebagainya, blangkon tak pernah lepas dari kepala. Memang
dari segi bentuk, blangkon tidaklah begitu menarik. Apalagi bila dibandingkan
dengan topi. Blangkon hanyalah sekedar penutup kepala yang terbuat dari kain.
Warnyanya pun biasa, tak banyak berfariasi. Selain itu, mode atau bentuk
blangkon juga permanen seperti itu. Namun, justru karena kelihatan sederhana
itulah sisi menarik blangkon. Sebab
sesederhana apapun yang namanya blangkon, ia mempunyai makna filosofi tinggi.
Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan tentang dirinya. Tidak seperti
topi yang paling hanya sekedar sebagai penutup kepala sekaligus hiasan. Hanya
saja sangat disayangkan saat ini blangkon tidak lagi menjadi sesuatu yang
istimewa. Ia hanyalah sekedar hiasan dan sekedar warisan leluhur. Terlebih,
jarang orang yang tahu akan makna yang tersirat dalam blangkon. Sehingga mereka
tak mampu mewarisi tradisi kearifan para pendahulunya. Untungnya, kita masih bisa bersyukur
karena ada komunitas delman Malioboro yang masih setia memakai blangkon. Kita
berharap semoga mereka tak hanya memakai blangkon saja, tetapi mampu
mengamalkan nilai-nilai filosofisnya. Dan bagi kita generasi saat ini yang
kurang mengenal blangkon dan enggan memakainya, semoga kita mampu mengamalkan
nilai-nilai filosofisnya. Itu semua demi kehidupan dimasa mendatang agar lebih
baik.
Blangkon memiliki berbagai model, seperti
halnya blangkon yang menggunakan mondholan atau tonjolan di bagian belakang,
ini adalah versi Yogyakarta. Tonjolan ini mengingatkan kita bagaimana rambut
panjang orang pada masa itu yang diikat di bagian kepala sehingga memunculkan
tonjolan ke belakang. Sedangkan yang berikutnya adalah balangkon model trepes,
blangkon model ini adalah gaya Surakarta, gaya ini merupakan model modifikasi
dari blangkon Yogyakarta yang menyesuaikan zaman sekarang bahwa kebanyakan pria
berambut pendek. Model trepes sendiri membuatnya dengan cara menjahit mondholan
langsung ke belakang blangkon. Memang blangkon identik dengan suku Jawa, tetapi
patut diketahui juga bahwa di berbagai suku bangsa ada juga tutup kepala yang
hampir sama dengan blangkon hanya berbeda pakem dan gaya serta nama tentunya.
Seperti halnya tutup kepala ala Sunda, Bali, Madura yang memiliki nama dan
karakteristik tersendiri.
Bicara soal melancong, tidak luput dari oleh-oleh yang dibeli dari kota
tujuan wisata kita. Melihat dari kebiasaan wisatawan secara berulang-ulang dari
tahun ke tahun yang mengunjungi suatu daerah, akan ada saja oleh-oleh yang
selalu mereka bawa pulang ke rumah tidak berubah dari waktu ke waktu karena
memang ciri khas sebuah daerah tersebut. Begitu pula dengan Yogyakarta yang
menyimpan banyak oleh-oleh khas Jogja yang wajib dibeli.
Jika anda berkunjung ke Malioboro, tempat belanja oleh-oleh terbesar di
Joga, anda akan mudah menemukan blangkon batik.
Apalagi motif batik pada blangkonnya tidaklah sama, namun
berbeda-beda. Ada banyak motif batik yang digunakan untuk melapisi blangkon.
Umumnya batik cap yang digunakan, agar harga blangkon batik Jogja ini tetap
terjangkau. Blangkon batik merupakan cenderamata yang sangat khas Jogja. Memang
blangkon batik tidak dapat dikenakan setiap saat, namun dengan membelinya anda
sudah membuktikan bahwa anda benar-benar telah berkunjung ke Yogyakarta.
Memahami budaya
Jawa dari sudut pandang orang Jawa (modern) seperti saya yang juga orang Jogja
tulen, masih saja kesulitan. Orang Jawa senang mbulet dan tidak To the point.
Apabila ditawari sesuatu pun akan menjawab matur nuwun, mboten, sampun semuanya
penolakan halus, padahal mungkin hatinya mau. Maka orang sering mengatakan
orang Jawa itu ya dalam ketidakan dan tidak dalam keiyaan.
Jangan salah
sangka, tidak setiap orang Jawa yang berbahasa mlipir dengan sikapnya yang
halus, juga memiliki watak (sifat) asli yang demikian, bisa jadi dia seorang
yang culas, pendendam atau licik. Tentunya hal ini merupakan suatu kondisi yang
kontradiktif. Tutur kata dan sikap santun yang ditunjukkan kadang hanyalah
untuk menutupi niat dalam hati.
Maka falsafah
blangkon kemudian disematkan pada sikap orang Jawa yang seperti itu. Dari depan
blangkon terlihat rapi tetapi di belakang ada mbendholnya (mondholan),
menggambarkan sikap beberapa orang Jawa yang pandai menyimpan maksud dan tujuan
sebenarnya.
Blangkon adalah
warisan dari jaman kerajaan dahulu banyak orang awam menyebutnya sebagai
penutup rambut di bagian kepala dipakai oleh kaum pria juga termasuk dari
pakaian tradisional. Blangkon sangatlah unik karena keberadaan blangkon
tersebut semakin lama kelamaan pengguna blangkon sangat sedikit paling orang
memakainya dalam acara tertentu seperti pada acara manten.
Blangkon Jogja
yang berciri khas dengan mondolan dibelakang yang dirancang sedemikian rupa
dengan tampilan yang menawan sehingga kaum pria akan tampak gagah
berwibawa memakainya dan dilengkapi
dengan pakaian sorjan dan kain jarik sebagai celana serta selop dan keris
dipunggunya.
Pakaian tradisional
atau pakaian adat jawa khususnya Jogja Blangkon dengan ciri khas mondolan
dibelakang sangatlah berbeda dengan
blangkon yang berasal dari daerah lain, tentunya Blangkon sangatlah banyak
madel atau ciri khas tergantung dari mana blangkon tersebut berasal.
Blangkon
merupakan salah satu warisan kebudayaan di daerah Solo, Jawa Tengah yang hingga
saat ini masih terus dilestarikan oleh masyarakat setempat. Walaupun pada
kenyataannya blangkon itu bukan hanya berada di wilayah Solo, namun hal
tersebut tidak memberikan pengaruh yang mendasar pada eksistensi blangkon yang
berada di Solo karna Solo memiliki ciri khas tersendiri dalam motif dan bentuk
blangkon tersebut.
Adapun beberapa
hal yang cukup menarik dari blangkon ini adalah karena pada umumnya hampir
semua orang bisa memakainya sebab blangkon dapat menyesuaikan segala macam
jenis wajah manusia kecuali kaum hawa. Bukan hanya itu, dari jenis-jenisnya
blangkon juga merupakan salah satu alat pembeda antara masyarakat kelas atas,
menengah, dan bawah pada zaman kerajaan dahulu. Tetapi kini budaya tersebut
tidak lagi berlaku besar terhadap masyarakat, karna kini blangkon tersebut
telah di perjual belikan kepada masyarakat dalam maupun luar solo. Jadi setiap
masyarakat sekarang bisa memakai dan memiliki blangkon dalam jenis apapun tanpa
perlu memperhatikan lagi tingkatan atau level kesetaraan sosial pada
masyarakat.
Ibu Hasrini
misalnya, salah seorang pengrajin blangkon yang mengaku sebagai perintis
pertama dalam membangkitkan semangat warga desa proton jayan untuk terus
melestarikan blangkon mengaku tetap optimis dalam menjaga kelestarian budaya
blangkon didaerahnya dengan pernyataan sebagai berikut, “Telah 20 tahun saya manjadi pengrajin
blangkon, dan sayapun yakin bahwa saya akan tetap mampu mungkin menjaga serta
melestarikan budaya yang telah menjadi warisan orang tua saya terdahulu”.
Menurut
pengakuan ibu Hasrini , blangkon ini dapat di distributorkan keberbagai daerah
misalnya Semarang, Jogja, Sumatra dan daerah lainnya. Dan lantaran blangkon
banyak diminati oleh masyarakat. Adapun jika saat-saat event berlangsung,
seperti masa kampanye pemilu. Maka banyak sekali para partai besar seperti PDI,
PAN, dan lainnya yang meminta pesanan blangkon kepada produsen blangkon di
daerah khususnya kelurahan Serengan.
Maka dari itu
dapat dikatakan bahwa melestarikan budaya blangkon yang memiliki peminat yang
cukup banyak telah memberikan dampak yang positif kepada masyarakat, khususnya
masyarakat kelurahan serengan dalam rangka mengurangi angka pengangguran di
wilayah tersebut.
Dalam hal ini,
penulis ingin menyampaikan sebuah fenomena yang sedang terjadi pada masyarakat
kita terutama pada masyarakat Jawa yang notabene adalah pemakai blangkon.
Sebuah pergeseran nilai dan makna telah terjadi dan sayangnya banyak kalangan
yang tidak peka terhadap masalah ini. Mereka hanya mengikuti suatu hal yang
sekiranya menjadi populer dan menaikkan prestise mereka dimata masyarakat umum
dan kebanggan adalah milik orang-orang yang menganggap dirinya adalah orang
modern dalam dunia global. Padahal secara tidak sadar, mereka terhegemoni oleh
sebuah pola pikir yang sebenarnya secara sengaja dibentuk oleh kalangan
tertentu yang mempunyai kepentingan di dalamnya. Melihat hal itu, maka penulis
akan membedah fenomena ini. Hal ini sangat beralasan karena sebagian besar
masyarakat kita masih belum bisa terlepas dari pola pikir kolonialisme yang sudah
mengakar sejak ratusan tahun lamanya.
Seiring
bergantinya zaman, terutama pada era kolonialisme dan berlanjut pada era
globalisasi seperti sekarang, mau tidak mau banyak budaya, adat dan segala
sesuatunya masuk ketanah Jawa dan mempengaruhi pola pikir, kebiasaan, dan
lain-lain. Sehingga pergesekan budaya tidak bisa dihindari. Blangkon adalah
satu dari sekian banyak budaya yang terkena dampaknya. Jika dulunya blankon
telah menjadi simbol kebanggaan para pria Jawa, namun sekarang telah tergeser
oleh produk-produk barat yang datang dan berkembang secara cepat. Hanya sedikit
sekali masyarakat yang menyadari itu. Sehingga sekarang kita sudah jarang
menemukannya dipakai dalam kehidupan sehari. Padahal jika dilihat dari fungsi
nya antara blankon dan tpoi biasa pada umumnya tidaklah berbeda. Yang berbeda
adalah cara pandang masyarakat terhadap blangkon itu sendiri.
Sekarang
blangkon dianggap sebagai sesuatu yang kuno dan tidak relevan lagi untuk
dipakai dalam suasana sehari-hari. Blangkon sekarang hanya dipakai pada
acara-acara tertentu seperti pada acara pernikahan maupun pada acara-acara
festival yang menggunakan tema tradisional. Di sini bisa kita lihat bahwa
pandangan masyarakat terhadap blangkon adalah sekedar sebagai pakaian bagi
orang-orang tradisional dan hanya dipakai pada era tradisional. Parahnya lagi,
orang yang memakai blangkon dianggap sebagai orang yang tidak bisa mengikuti
perkembangan zaman dan dinilai tertinggal baik dalam aspek cita rasa berpakaian
maupun perilakunya. Masyarakat sekarang lebih memilih menggunakan penutup
kepala produksi dunia barat seperti topi ataupun kerpus. Produk tersebut
dianggap lebih relevan dan mempunyai nilai lebih baik dari sisi bentuk maupun
fungsi secara fisik maupun sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar